Senin, 25 Februari 2013

Rintihan Rakyat Jelata

Derai bencana bertubi-tubi menimpa tanah pertiwi, ibukotapun tersandera dengan bencana yang berkepanjangan. Harga diri negara dipertaruhka dipentas dunia, sehingga membuat investor berfikir seribu kali untuk menanamkan modalnya. Disaat masyarakat membahana mencari penangkal bencana ini supaya rutinitas kehidupan berjalan normal tanpa dihantui rasa takut dan rasa khawatir dalam, munculah bencana yang sangat menyakitkan nurani dan akal, yaitu KORUPSI. Entah penangkal apa yang harus dicari guna menangkal bencana ini supaya tidak merasuk ke hati nurani dan akal setiap insan pertiwi. Kemunafikan menjadi hal yang sangat lumrah dikalangan birokrat negeri ini. Semua orang mengagungkan label agama, tapi dilain sisi orang tersebut melumrahkan KORUPSI. Rakyat dibuat merintih, menangis, sampai memohon untuk dibebaskan dari bencana KORUPSI ini. Tapi apadaya rakyat hanyalah rakyat, mereka hanya dianggap sebagai boneka penopang kekuasaan. Ironis sekali negeri tercinta ini.
Kampanye anti KORUPSI disemua lembaga digalakan, semua elemen saling bersaing untuk membuat "BALIGO" dalam konotasi penyiaran makna argumen, tapi apa yang terjadi dilapangan. Tulisan hanyalah hiasan disetiap pintu, disetiap meja informasi, disetiap dinding-dinding lembaga. Praktek KORUPSI tetap melenggang tanpa ada tading aling-aling. Sampai-sampai untuk mendapatkan secarik kertas yang didalamnya tertera tandatangan pejabat harus mengeluarkan puluhan juta rupiah uang. Hati ini ingin teriak tapi hanya angin yang bisa menerbangkaannya tanpa dapat menggapai telinga mereka yang sedang asik menggerus harta negara.
Terpikir untuk menjadi penghianat negara, disaat suaka dari negara lain didendangkan kepada masyarakat pertiwi. Tapi hati dan nurani ini sudah terkunci oleh penyelamat kehidupan (agama). Karena dalam agama sudah tertera jelas bahwa hukuman bagi seorang penghianat negara adalah NERAKA. Setiap detik ingin teriak MUNAFIK yang ditujukan kepada para birokrat yang tanpa dosa menggrogoti harta rakyat, sampai-sampai seorang pengemispun berani meludahi bayangan birokrat. Sungguh pemandangan yang sangat menyakitkan. Hanya doa dan harapan yang hanya tertuang tanpa tindakan realita, dikarenakan ketidak mampuan atas situasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar